SUMI (continue)

Hati sumi terhenyak ketika lontaran kata kata yang tak pernah ia harapkan itu terdesir di kelopak telinganya.  Air mata yang tak begitu deras merengsek dari bola matanya yang sayu.
sumi  hanya bisa terdiam mendengar pilihan yang di utarakan oleh orang tua pieter. Dengan deru nafas tergesa sumi menghentikan pandangan dari orang tua pieter yang saat itu, laksana lontong panas tak terbungkus. Dengan tertunduk dan merasa bersalah  sumi menjauh dari hadapan majikannya itu.
                langkah demi langkah dengan tertatih sumi kembali menuju kamarnya yang tak begitu indah untuk dipandang. Bimbang, marah, merasa bersalah,  bersatu padu di dalam pikiran sumi yang saat itu masih sedikit labil. Di kamarnya Ditemani lampu pijar yang dikelilingi puluhan serangga laron dan nada harmonis sang  jangkrik menggelitik di suasana relung hatinya, dengan dilema yang tak pernah ia bayangkn akan seperi ini adanya. Sumi merintih sendiri dalam nurani prasangka tak bertuan.
Sumi merenung.
“inilah  akibat dari kelengahanku saat itu, terbuai dalam lembah hitam pekat dan tak bermassa. syetan yang terkutuk, menggodaku  yang tak tahu bagaimana kejadian kedepannya. Seperti saat itu, begitu gila. Teringat mlam itu aku bagaikan dibisiki syetan, aku berlaku seperti binatang yang tak bermoral dan beragama.. Jelas-jelas dalam kitabNYA tuhan berkata “ jangan berzina” bukankah peringatan keras itu tidak di ucapkan secara lirih oleh sang pencipta? Kenapa aku yang hanya bekerja sebagai seorang pembantu ini begitu lancang melanggar perintahNya, dan malah menyentuh laranganNya. Tuhan apakah engkau tahu apa yang aku lakukan kala itu? Apa Kau marah? Apa Kau menangis? Hanya detik itu saja aku melupakanmu. Setelah itu aku hanya bisa menangis, menyesal atas kemahatololan yang kubuat sendiri, menyesal telah merusak apapun yang aku bangun dengan susah payah.
                Sumi mulai menyadari setiap kesalahannya, ia merasa sangat bersalah dengan apa yang ia lakukan saat itu. Ia merasa telah menghianati setiap orang yang di menyayanginya, keluarga, orangtua, dan yang paling utama, Tuhan yang telah memberikannya kehidupan, walau tak seperti kehidupan yang di puja pujinya. tanpa sadar sampai mana introspeksi yang ia lakukan, ia terengah ke lautan mimpi, Tanpa meninggalkan masalah yang sekarang ia hadapi.  
                Walau ia tertidur, tetapi apa yang ada di dimensi dunia ini selalu saja mengikuti langkah gelombang letupan mimpi yang saat itu ia alami, hingga masalah tersebut  sampai pada titik batas kemampuan untuk di tangani.
                Sumi  tersentak bangun ketika ototnya terasa mengencang dengan sendirinya, menandakan masalah yang ia alami belum tuntas 100%. Ketika itu waktu sepertiga malam, Sumi kembali menghayal, apa yang harus ia lakukan untuk menyudahi  problem hidup yang ia rasa cukup berat untuk ia hadapi sendiri.
                “ rasanya, aku ngin menggoreskan kaca di lembutnya kulit yang membalut urat nadi ku. Apa yang harus aku lakukakan? Apa yang arus aku katakan pada ibuku? Apa yang terjadi akan membuatku malu? Apa yang harus kulakukan kepada bayiku? Bagaimana dengan lingkungan sosialku di kampung? Apakah mereka akan mencemooh dan menghinaku?bagaimana dengan mimpi-mimpiku?jka aku pergi dan membiarkan anak ini di kandunganku, bagaimana jika suatu saat anak ini bertanya tentang ayahnya? Bagaimana cara menghidupi bayi ini? Apa aku siap menjadi seorang ibu?  kala itu, banyak pertanyaan mencuat liar dari pikiran Sumi. Mengacaukan akal sehat, dan merusak laju kerja jaringan fikiran sumi.
                Akhirnya terbesit suatu prasangka Sumi untuk kabur dari rumah majikannya tersebut.
“ jikalau aku menggugurkan anak ini, bukankah dosa yang aku lakukan akan semakin membusuk?, sesakit inikah cara untuk menghindari rasa malu?, dengan menyiksa diri sendiri, dengan merusak sesuatu yang tak pantas untuk di rusak. Akan tetapi, jika aku pergi dari rumah ini, dengan membawa uang pesangon yang hanya 500 ribu itu? Benarkah hanya sejumlah itu harga diriku? Aku begitu malu dengan orang tua Pieter. Aku yang melakukan dosa, tak mungkin kutega membuat orang lain susah payah.
                Akhirnya sumi terfokus pada rencananya yang kala itu hanya tertetes instan di fikirannya. Ia memilih untuk pergi meninggalkan rumah cinta pertamanya, tanpa berpamitan dengan orang tua Pieter. Karena Sumi tak mampu menghelai setiap rasa malunya akibat apa yang ia lakukan bersama Pieter di malam kelam itu.
                Jarum jam terdengar berdetak seiring detak jantung sumi yang setiap saat menggema seiring nafas yang di helanya tak mampu menenangkan pikirannya. Ia terus saja menyiapka beberapa keperluannya untuk kabur. Pakaian, uang dan beberapa aksesoris untuk kabur akhirnya telah siap terpasung di tas sumi yang berdebu dan agak katroq itu.
                Sumi bergegas tanpa henti melewati setiap pintu yang terpasang didepannya, walau suasana sedikit dingin. Tetap saja pori pori sumi membelah mengeluarkan aliran keringat laksana sumur zam-zam ditanah Arab. ketika di halaman rumah majikannya, Sumi mendongak resah menatap sinar rembulan yang membahana malam itu. Suara gonggongan anjing menalukan warna awan yang menutupi bintik bintang.
“selamat tinggal rumah perjuangan” batin sumi.
                Rencananya ia akan berjalan menuju terminal  yang  jaraknya sekitar 500 meter dari rumah majikannya itu. Langkah demi langkah terlampau ia lakukan. Suci embun pagi tertetes dalam setiap lekukan tubuh sumi, memberikannya kesejukan yang mampu mendinginkan suasana kelam yang selalu menghantuinya saat itu.
                Sumi berjalan ke barat ketika waktu belum pantas di sebut pagi, matahari mengikutinya di belakangnya. sumi berjalan mengikuti bayang-bayangnya sendiri yang memanjang di depannya. Setelah beberapa lama akhirnya sumi sampaipun pada tujuannya pagi itu.
                Suasana terminal di pagi itu masih amat lengang, akan tetapi tetap saja para pedagang yang kebanyakan berwajah ibu-ibu telah duduk menunggu mobil angkot impian mereka. Dengan wajah yang penuh harapan dan kerja keras, pakaian sederhana dan alat-alat khas tradisional menghiasi akhir senja itu.
                Setelah beberapa saat menunggu, tak banyak yang dapat ia lakukan ketika ia sedang menunggu. Akhirnya bunyi bell butut khas angkutan umum terdengar seiring ayat-ayat suci alquran di kumandangkan di surau surau kecil terdekat. Langsug saja sumi dan para penduduk terminal yang telah lama melakukan penungguan naik secara serempak ke angkutan umum tersebut.
                kala itu sumi duduk tepat di belakang sopir angkutan umum itu. Dengan aroma khas pasar tradisional, seperti aroma ikan tongkol, buah-buah yang agak membusuk, asap putung rokok yang laksana awan ditengah surya menghiasi pemandangan pagi itu.
                “penumpang baru mbak?” cakap seorang lelaki berkaos oblong yang berperan sebagai sopir kala itu. “Eh, iya pak.” Jawab sumi
“hendak kemana, pagi pagi koq kelihatan resah?”
“ndaq koq pak, Cuma mau pulang kampung, rindu sama keluarga di desa”
“owww, kerja dimana mbak?”
“itu di komplek sebelah, jadi seorang pembantu pak”
“Wah, ga apa-apa mbak. Jaman sekarang cari kerjaan yang sesuai susah. Kalau terlalu pilah-pilih nanti malah ga kerja-kerja.”
“Iya pak,Yang penting menjalaninya dengan ikhlas” sumi menjawab dengan ramah.
                tak terasa sudah beberapa lokasi terlewati bersama angkutan tersebut. mentari mulai menghangatkan ssetiap sudut ruangan, akhirnya sumi turun ke terminal berikutnya.
                Di terminal tempat sumi turun tadi, mentari telah meninggi dengan perkasa, menguapkan embun yang tadi pernah walau sesaat menenangkan perasaan sumi kala itu. Kesibukan para manusia terhampar di luasnya ladang kehidupan.
                Seiring perjalanan matahari untuk menuju barat cakrawala. Perjalanan Sumi dari terminal satu ke terminal lain telah ia tuju. Di terminal terakhir dan tersederhana, Sumi duduk terdiam sambil menatap kelangit yang telah membakar sekujur tubuhnya. Terlihat mentari telah sampai pada setengah perjalanannya. “mentari takkan tenggelam di tengah langit”: batin sumi, sambil mengusap penat yang timbul di hari-hari terakhir ini.
                Orang yang tak ia kenal menyapa Sumi, dengan mengenakan jaket tebal tak berbulu dan di tempeli stiker merek motor terkenal.
“mau kemana mbak, ngojek?” tanya orang itu.
“ ia pak, mau ke desa Kekolo, berapa ongkosnya pak?”
“Rp 30.000 mbak, maaf agak mahal, lasingan jauh lokasinya mbak juga jalan nya cukup susah di lewati  dan rawan”
“ndak apa-apa pak, mari”. akhirnya sumi berangkat menuju kampungnya dengan ojek yang menggoyagkan isi perut sumi dengan tak bisa di bilang perlahan.
                suasana desa di siang hari, para petani membawa cangkul dengan baju bermotif tanah sawah yang mengering berpulang dari lahan pertanian mereka. Debu jalan pedesaan menyentuh setiap helai rambut orang orang di jalanan, daun-daun kering terbakar di pohonnya sendiri.
                Beberapa lama di perjalanan terlihat pagar rumah yang ditumbuhi bubuk menyapanya secara lugas. Terlihat seorang wanita yang tak asing di matanya menyambut ia dengan senyum membahana. Laju motor terhenti seiring sebuah kunci terputar oleh lelaki yang tadi menawar sumi menyewa jasanya.
“pak-pak kenapa kelebihan jalannya? Tanya sumi sambil tersenyum.
“maaf mbak, ndak tahu alamatnya lasingan” jawab tukang ojek dengan ramah.
“ini uangnya pak, terimakasih atas bantuannya”.dengan ramahnya, sumi membukakan dompet di dalam tas katroqnya, dan mengeluarkan tiga lembar uang kertas Rp 10.000
“sama-sama mbak” tukang ojek menerima dengan ikhlas sambil memutar kembali kunci motornya.
                Ketika di halaman rumah sempitnya, wajah yang tak asing di matanya tadi itu terliat berekspresi keheranan atas kedatangan sumi yang tidak di duga-duga. Kilau keriput kulit lambang susah payahnya hidup di keluarga itu tampak di wajah sepinya.
“anakku ibu sangat merindukanmu”
“aku juga ibu, setiap detik waktu aku berjuang untukmu ibu”
“jika boleh ibu tau, kenapa engkau tidak memberitahu ibu bahwa engkau akan pulang anakku”
“anuk bu, anuk bu.....” sumi bingung bagaimna caranya untuk jujur terhadap perkara yang ada saat itu.
“ya sudah nak masuk dulu, istirahhat sambil nunggu bapakmu pulang dari lahan pak Toromo”
Sambil menggandeng tangan mungil ibunya, sumi beranjak ke dalam rumah yang sangat sederhana yang menyisakan kisah masa lalu lugunya.
                Sumi menatap setiap sudut ruangan yang dihiasi sarang laba-laba yang tak terawat. Angin sore mulai mengalir perlahan membawa bingkisan siang untuk para dewa senja, perlahan dan begitu susah payah untuk mencegahnya, setelah beberapa lama sumi istirahat untuk menghapus perlahan penatnya hari itu.
                Di luar rumah terdengar langkah kaki yang tak karuan mendekati rumah tempat sumi tinggal itu. Suara karatan tangkai pintu meleset pertanda seseorang memasuki rumah itu.
“anakkuuuu” seorang lelaki paruh baya memeluk erat sumi dengan penuh rasa kasih sayang dan kerinduan.
Dengan topi jerami yang cukup berantakan dan busana khas buruh tani merujuk ke tubuh muda sumi.
“ayah, sumi sangat merindukan ayah” tak disengaja air mata sumi tertetes melihat seragam tanda perjuangan ayahnya.
“ jangan menangis nak, walau kehidupan kita seperti ini, ayah tak pernah merasa rendah koq. Yang terpenting ialah kita bisa menjaga kepercayaan orang lain yang di berikan kepada kita.
sumi semakin memeluk erat tubuh kerempeng ayahnya.
“kaulah anakku yang tak pernah dan tak akan pernah membuatku malu, dengan merusak nama baik ayah”
                mendengar kepercayaan yang diberikan ayanhnya, sumi merasa begitu rendah denganapa yang ia lakukan bersama pieter malam itu. Sumi merenung sendiri.
                ketika waktu malam menjelang di gubuk sederhana itu, suara jangkrik, gonggongan anjing lengkap sebagai perintih susasana galau sumi.
“tak mungkin aku berani mengungkap apa yang terjadi pada hidupku dikotak kala itu, jika aku jujur bagaimana rasa kecewanya ayah kepadaku, tak mungkin aku jujur kepada orang tuaku, sebagaimana niatku meninggalkan rumah majikanku kala itu”
                ribuan pertanyaan menghiasi malam sumi di gubuk kecil itu.
semakin lama dia berpikir, semakin banyak ia tahu masalah yang akan di timbulkan akibat kejujurannya. Ia tak bisa tidur dengan tenang dengan segala masalah yang membelitnya.
                Ketika fajar bersinar di ufuk timur, sumi melakukan segala kegiatan di kegiatan yang biasanya ia lakukan sebelum ia merantau kekota dahulu. Mulai dari bertani,  memanen padi, memanen tembakau, setiap hari ia lakukan dengan ikhlas dan sebagai rutinitasnya. Akan tetapi Setiap detik waktu tetap saja ia memikirkan bagaimana caranya untuk menyudahi masalah yang ia hadapi ini. Kejujuran yang pahit tak pernah ia berani melkukannya.
                detik, menit, jam, hari, minggu, sampai bulan telah ia lalui dengan ketidak beraniannya melakukan pahitnya kejujuran.
                seperti kata pujangga “bagaimanapun pintarnya tupai melompat, pasti akan terjatuh juga” begitu pula dengan masalah yang di sembunyikan sumi selama berbulan-bulan terbongkar dengan terpaksa.
                kala itu ketika pagi menyingsing, kicauan burung mengiringi hangatnya nasi untuk sarapan sebelum pergi ke ladang gersang. Tak pernah ia sangka, ketika sumi dengan ibunya menyiapkan makanan untuk sarapan ayahnya, sumi terjatuh, dan kepalanya sangat pusing. Muntah-muntah, semua hal yang menyakitkan kala itu, terjadi pada sumi.
“kenapa nak?” tanya ibu sumi sambil menahan tangis yang akan segera lepas.
ayah sumi segera beranjak dan bergegas sangat ketakutan dengan apa yang terjadi pada sumi.
dengan lemahnya Sumi mengeluarkan setiap kata yang setiap hari disimpannya hingga membusuk itu.
“ aku hamil yah” sambil menangis.
“maafkan aku yang telah menghancurkan kepercayaan ayah”
segera ketakutan yang terjadi pada ayahnya kala itu berubah menjadi kemarahan yang tak bisa ia elakkan. Sendok nasi diambilnya dari tempat nasi yang masih hangat itu. Dengan kerasnya ayah sumi memukul anaknya yang masih lemas dengan begitu kerasnya.
“anak tak tau diuntung, apa artinya ayanh membesarkanmu jika kau berkelakuan seperti itu. Akan kubunuh kau” dengan nada yang begitu keras, suara ayah sumi mensenyapkan nada indah para burung.
                Sumi yang lemas berlari ketakutan menuju hutan desa yang tak begitu jauh dari gubuknya itu. Tidak lupa ayah Sumi memanggil beberpa penduduk desa untuk membantu membunuh anaknya karena ia merasa sangat dikhianati.  Di desa itu setiap orang yang melakukan perzinahan boleh dibunuh jika diizinkan oleh orang tua pezinah itu. para penduduk desa segera keluar dan pergi mengejar sumi yang telah berlari ke hutan. Hujan lebat mengiringi pengejaran sumi yang laksana terorist itu. Setiap semak dibongkar dengan dahsyatnya, berjam-jam setiap orang mencari, hingga sumi ditemukan di tepi sungai dan ia langsung menceburkan diri.
                Setelah putrinya menceburkan diri. Ayah sumi begitu menyesal telah memperlakukan anaknya sekejam itu. Ia menangis tanpa tersenyum.
                Di tempat lain, di rumah Pieter, entah mengapa orang tua Pieter setelah berbulan-bulan baru ia sadar terhadap kesalahan perkataannya kepada sumi pada malam yang kelam yang dulu itu. Berminggu-minggu ia mencari tempat tinggal sumi untuk meminta maaf. Hingga pada suatu hari ia menemukan gubuk tempat tinggal sumi. Akan tetapi ia di beri tahu bahwa sumi baru saja meninggalkan mereka semua. Orang tua pieter sangat terharu terhadap apa yang terjadi pada sumi dan keluarganya.
                Ditempat lain ketika sumi tenggelam dalam deras dan dalamnya sungai pegunungan, ia terkatung tak sadarkan diri selamabeberapa hari. Di dalam mimpinya ia berenang bersama anak-anak yang tak mau ia gugurkan kala itu, menari dan menemani sumi dalam perjalanannya di sungai. Sampai suatu hari ia sadarkan diri.
                ketika ia baru saja membukakan matanya yang sayu, terlihat tembok putih dan langit-langit putih di hadapannya bersama orang-orang yang memakai baju putih rapi. Kala itu ada sesuatu yang sangat spesial di hadapannya. Lelaki pertama, dan cinta pertamanya mengumbarkan senyum manis di hadapan sumi yang baru saja sadarkan diri.
“sayang, alhamdulillah kamu sudah sadar” kata lelaki tersebut.
“dimana ini, surga?” tanya sumi dengan nada lemas
“aku menemukanmu di pinggir sungai, aku sangat ketakutan kehilangan kamu” dengan syahdu ia menjawabnya
ternyata setelah sumi sadar ia telah berada di puskesmas desa terpencil tempat pieter KKN.
beberapa hari kemudian, masa KKN pieter telah habis dan sumi kembali pulih. Akhirnya mereka berdua pulang dengan suka dan duka.
ketika sampai di rumah pieter, orang tua pieter sangat kaget dengan apa yang terjadi pada dua insan ini, mereka sangat terharu.
“ memang kalian adalah cinta sejati, dan kami tak akan pernah mampu memisahkan cinta kalian berdua, kami merestui hubungan kalian”
                beberapa selang waktu kemudian kabar itu segera datang ke keluarga Sumi. Ayah dan ibu Sumi sangat heran dan merasa sangat senang dengan keputusan keluarga pieter.
beberapa hari kemudian, setelah persiapan pernikahan telah selesai kedua keluarga di undang untuk mengahadiri pernikahan dua sejoi tersebut.
Ketika pernikahanitu berlangsung sumi di beri mahar beberapa jenis perhiasan seperti yang ia impikan sebelum ia pergi kekota. Keluarga sumi dan keluarga pieter bahagia selamanya.

Komentar

Postingan Populer